• Berita

Gelar FGD, Tim Peneliti UWP Rekomendasikan Pengaturan Pengaturan Corporate Blue Bond dalam Pengembangan Kelautan di Indonesia

  • 10 Oct 2025
  • Berita Kampus

Tim peneliti dari Universitas Wijaya Putra (UWP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Pengaturan Corporate Blue Bond Sebagai Instrumen Pembiayaan Ekonomi Biru di Indonesia” .

FGD ini diikuti puluhan akademisi serta praktisi dari sejumlah bidang seperti kelautan, hukum, ekonomi serta lingkungan hidup, di Resto Nine, Surabaya, Jumat (10/10).

Program penelitian fundamental – reguler dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia Tahun Anggaran 2025 ini, tim diketuai oleh Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum.

Tim ini melibatkan anggota Dwi Elok Indriastuty, S.H., M.Hum., dosen dari Fakultas Hukum, serta Dr. Fitra Mardiana, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang menyampaikan sejumlah rekomendasi terkait pengembangan ekonomi biru di Indonesia.

Pada pemaparannya, Ketua Tim Peneliti, Dr. Budi Endarto, S.H., M.Hum., menyampaikan bahwa Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya merupakan wilayah perairan, sehingga potensi ekonomi dari kelautan sangat besar.

“Namun permasalahannya, masih belum ada pengaturan secara spesifik terkait pengembangan Ekonomi Biru di Indonesia. Sampai sekarang, belum ada Undang-Undang Ekonomi Biru sehingga menimbulkan kekosongan hukum,” papar Budi Endarto.

Di samping permasalahan kekosongan hukum, Budi menyampaikan bahwa dalam mengembangkan ekonomi biru, membutuhkan biaya yang sangat besar.

“Eksplorasi sumber daya laut membutuhkan biaya yang sangat besar. Tentunya negara tidak mungkin bersandar pada APBN dan APBD semata,” ujarnya.

Oleh sebab itu, ia merekomendasikan adanya pengaturan blue economy secara umum dan blue financing terkait pembiayaannya.

Adapun secara khusus, instrumen pembiayaan terkait sumber daya laut menggunakan skema Corporate Blue Bond.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Budi merekomendasikan kepada DPR dan Pemerintah terkait pengembangan ekonomi biru di Indonesia.

Pertama ialah membentuk Rancangan Undang-Undang Ekonomi Biru.

Kedua, membentuk kelembagaan khusus terkait pengembangan ekonomi biru.

Ketiga, pengembangan instrumen blue financing seperti blue bond di Indonesia.

“Indonesia dapat belajar dari Negara Filipina yang sudah memiliki Blue Economy Act. Di samping itu, di Filipina juga memiliki lembaga yang mengkoordinir ekonomi biru yang disebut sebagai Blue Economy Council atau menghidupkan kembali Kementerian Maritim yang kini tidak ada di kabinet pemerintahan saat ini,” pungkasnya.

Pemaparan tersebut mendapatkan sejumlah tanggapan dari akademisi dan praktisi yang hadir pada FGD tersebut.

Salah satu responden, Dr. Rihantoro Bayuaji, S.H., M.H., menyampaikan apresiasi atas penelitian dari tim peneliti yang dinilai berkelanjutan.

“Terlebih paradigma peraturan perundang-undangan saat ini berbasis Omnibus Law, tak terkecuali pasar modal dengan dimasukkannya klaster pasar modal ke dalam Omnibus Law UU P2SK,” ujar Bayu yang merupakan Konsultan Hukum Pasar Modal.

Responden selanjutnya, Dr. Suwarno Abadi, S.H., M.Si., juga memberikan tanggapan terkait hasil penelitian tersebut. Ia berpendapat bahwa terdapat sejumlah akibat dari ketiadaan pengaturan ekonomi biru.

“Adanya kekosongan hukum selain menimbulkan tidak adanya kepastian hukum yang menyebabkan investor tidak berinvestasi di sektor kelautan Indonesia, dikhawatirkan pula dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab dalam mengeksploitasi sumber daya laut,” ujar Suwarno yang merupakan pakar Hukum Tata Negara.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UWP, Prof. Dr. Nugroho Mardi Wibowo, S.E., M.Si., yang turut hadir dalam FGD tersebut juga memberikan masukan terkait hasil penelitian tersebut.

Di antaranya mengatur aspek instrumen biru berbasis syariah serta Digitalisasi Pelaporan dan Transparansi Blue Bond melalui teknologi blockchain.

“Penelitian ini bisa diarahkan ke terapan, salah satunya melalui penerapan digitalisasi dari Blue Bond tersebut. Salah satunya menggunakan teknologi Blockchain, dengan berkolaborasi dengan pakar IT,” ujar Prof. Nugroho.

Menurutnya, hal tersebut sejalan dengan konsep kampus berdampak yang dicanangkan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi serta selaras dengan visi UWP sebagai Sociopreneur University.